aye! aye! saya memuat artikel ini untuk membantu teman-teman semua membuat kliping PKn :)
SIAPA sangka, penolakan terhadap produk-produk korporasi global dipraktikkan secara nyata dalam penyelenggaraan Forum Sosial Dunia IV di Mumbay, India. Suatu militansi yang bahkan tidak ditemui dalam FSD-FSD sebelumnya di Porto Alegre, Brasil.
Wujud penolakan itu sudah terasa pada hari pertama Forum Sosial Dunia (FSD) IV pekan lalu ketika beberapa wartawan kebingungan di depan deretan komputer di media center. Para petugas sibuk mondar-mandir membantu karena sistem operasi komputer di media center itu memang tidak biasa, menggunakan Linux. Ini adalah sistem yang disediakan secara gratis oleh para hacker sebagai alternatif penetrasi Windows yang menyebar sampai ke warung Internet di kampung-kampung.
Akan tetapi, memulai sesuatu yang berlawanan dengan arus utama memang tidak mudah. Para wartawan yang biasa menggunakan peranti lunak Microsoft Office, misalnya, tampak begitu kikuk ketika semua pola pengolahan kata berubah. Daripada repot-repot menghafal menu baru, beberapa di antara mereka akhirnya memilih mengakses Internet dan menulis berita langsung di badan e-mail. Tidak ada lagi attachment.
Aksi penolakan terhadap korporasi global terasa kental mewarnai seluruh penyelenggaraan FSD IV. Tidak satu pun spanduk sponsor yang berasal dari suatu perusahaan-entah itu bank, hotel, produk pangan, apalagi kosmetik-ditemukan. Sitamice, lembaga yang ditunjuk FSD untuk mengurus akomodasi peserta sebagai contoh, memilih menempatkan peserta di hotel-hotel yang dikelola manajemen lokal.
Jangan harap pula menemukan aneka merek minuman ringan yang biasanya mudah diperoleh di pedagang asongan pinggir jalan. Air minum dalam kemasan bahkan dari merek lokal juga tidak ada, apalagi keluaran korporasi internasional.
Sebagai penggantinya, di berbagai lokasi tersedia keran-keran yang mengalirkan air minum hasil pemurnian dengan cara lokal. Gratis. Bagi yang enggan minum beramai-ramai dari keran, tersedia stan-stan dengan air yang dimurnikan. Satu liter air dalam botol tanpa merek dijual 10 rupee (sekitar Rp 2.000). Kalau sudah punya botol, tinggal mengisi ulang dengan membayar 3 rupee. Hanya beberapa stan menjual botol dan air. Puluhan stan lain hanya menyediakan isi ulangnya.
Bagi yang mau membaca, hal ini sebenarnya sudah tercantum di dalam buku panduan program FSD IV yang menjelaskan alasan mengapa hanya air generik yang tersedia. "Agar sejalan dengan prinsip-prinsip FSD, air minum kemasan maupun minuman ringan produksi perusahaan multinasional tidak akan disediakan di tempat penyelenggaraan FSD."
Penolakan juga dilakukan terhadap semua produk yang dianggap sudah merasuki harkat hidup orang banyak. Makanan, misalnya, tidak ada ayam dan kentang goreng dari restoran cepat saji berlisensi internasional. Yang tampak adalah deretan warung makanan khas India, Thailand, atau Vietnam yang dikelola oleh kelompok-kelompok swadaya perempuan maupun pedagang kaki lima lengkap dengan gerobaknya. Beberapa penjual bahkan tidak menggunakan piring kertas, melainkan sekumpulan daun kering yang dirangkai dengan lidi.
SEJARAH kelahiran FSD di Porto Alegre, Brasil, tahun 2001 memang berasal dari orang-orang yang percaya bahwa masa depan terletak pada kemampuan membangun keswadayaan dengan manusia sebagai pusatnya, bukan globalisasi sistem kapitalisme neoliberal yang memaksakan keseragaman dan tidak menghargai pluralisme serta kreativitas.
Semboyan "another world is possible" lahir bersama kesadaran akan fakta bahwa lokalitas dan kearifan tradisional makin tidak mendapat tempat. Orang tidak akan bangga bila di badannya tidak menempel tas, kacamata, sepatu, dan baju dari merek terkenal. Orang tidak lagi meminum air rebusan, tetapi menggunakan air kemasan atau bahkan menyediakan berkaleng-kaleng minuman ringan dalam kulkasnya.
Padahal, dampak dari semua itu sungguh terasa. Di Filipina, misalnya, produk minuman ringan dan air minum dalam kemasan sudah dimonopoli oleh perusahaan korporasi internasional. Demikian pula di Thailand. Produk minuman lokal menjadi tidak laku dan banyak industri komunitas gulung tikar.
Di India bahkan ada yang disebut People’s Forum Against Coca-Cola yang selama FSD IV berlangsung menyelenggarakan lokakarya, konferensi pers, serta mengorganisasi lebih dari 100 anggota masyarakat yang terkena dampak untuk rally memprotes kiprah korporasi multinasional itu di India. Soalnya, industri pembotolan atau pengemasan Coca-Cola di India dituding telah menghabiskan cadangan air dan mengontaminasi sumber air masyarakat di beberapa komunitas.
Di Indonesia, meski belum terasa, beberapa mata air di berbagai daerah sudah mulai dipagari dan dijaga petugas satpam galak. Perusahaan pengelola air minum dalam kemasan telah menguasai sumber air terbesar dan terdekat dengan kawasan resapan di pegunungan, sehingga suatu saat nanti sumber air kecil-kecil di sekitarnya-yang notabene memenuhi kebutuhan air masyarakat di sekitarnya-bisa habis tersedot.
Tidaklah mengherankan bila kemudian salah satu dari 14 prinsip FSD yang diadopsi lebih dari 2.500 organisasi di 132 negara dengan tegas menyebut FSD melawan semua bentuk totalitarian dan pandangan reduksionis dalam ekonomi dan pembangunan, serta segala bentuk kekerasan yang mengikutinya, termasuk kontrol sosial oleh negara. Warga FSD wajib mengupayakan dihargainya hak asasi manusia, demokrasi partisipatif, serta hubungan yang damai dan setara tanpa membedakan latar belakang setiap orang.
Wujud dari prinsip itu tidak hanya bisa dilihat dalam penyelenggaraan FSD IV di Mumbay, tetapi juga diasah terus-menerus sebagai mekanisme perjuangan. Dalam acara pembukaan FSD IV, misalnya, novelis dan aktivis Arundhati Roy dari India tidak hanya mendeklarasikan perang terhadap korporasi internasional, tetapi juga mengajak semua pihak ikut berprakarsa di dalamnya.
Menurut dia, tidak ada yang tidak mungkin untuk menghentikan invasi korporasi internasional. Seperti teori chaos yang menyebutkan kepak sayap kupu-kupu di Meksiko bisa menimbulkan angin besar di belahan dunia lain, tindakan penolakan setiap individu bisa membawa perubahan dalam tata kehidupan global. Inilah salah satu perlawanan nonkekerasan yang merupakan inti FSD. Cukup menggunakan hak paling dasar seorang konsumen: membuat pilihan untuk tidak membeli suatu produk, maka mati hidup suatu perusahaan bisa ditentukan.
Salah satu langkah nyata yang bisa dilakukan saat ini adalah mendukung perjuangan rakyat Irak, karena apa yang terjadi di Irak merupakan manifestasi paling nyata dari sistem kapitalisme neoliberal dengan pendekatan militer. Roy pun lalu menyerukan agar semua orang mencari sedikitnya dua korporasi multinasional milik Amerika Serikat yang paling diuntungkan dengan adanya perang Irak. "Kalau sudah ketemu, mari kira cari produknya di seluruh dunia. Buat mereka tidak bisa bernapas lagi dengan tidak membeli produk-produk itu," katanya tegas.
FSD adalah simbol sebuah harapan. "Harapan bahwa suatu saat nanti akan ada dunia baru di mana globalisasi tidak sinonim dengan ketidaksetaraan, tetapi globalisasi dengan manusia sebagai pusatnya," kata pemenang Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi dari Iran, yang bersama Arundhati Roy berbicara pada acara pembukaan FSD IV.
Harapan itulah yang dalam hari-hari ini tengah diupayakan untuk diwujudkan dalam Forum Sosial Dunia di Mumbay, di tengah hiruk-pikuknya karnaval lengkap dengan tarian suku Dalit yang menginginkan persamaan di India, penduduk Desa Rajasthani yang menyanyikan hak-hak hutan dan tanah mereka, atau sekelompok remaja Godhra yang meneriakkan perdamaian dan pluralisme, serta masyarakat dari berbagai golongan yang meyakini bisa dihadirkannya dunia baru yang lebih baik.
Ketika negara sudah tidak berkutik menghadapi tekanan korporasi global, ketika rakyat sudah tak ada lagi yang melindungi, setiap individu dari seluruh sudut dunia harus menggunakan apa yang dimiliki untuk memberikan perlawanannya yang terakhir.
"Yang diperlukan hanyalah solidaritas dan kesetiakawanan untuk bersama-sama mewujudkan masa depan yang kita impikan," kata Ebadi mengingatkan. (agnes aristiarini/ maria hartiningsih, dari Mumbay, India)
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/20/utama/810432.htm
No comments:
Post a Comment